PAJAK ROYALTI UNTUK PARA SENIMAN DAN PENULIS

PAJAK ROYALTI UNTUK PARA SENIMAN DAN PENULIS

Baru-baru ini, perhatian publik tertuju pada kabar yang mengungkapkan royalti yang diterima Satriyo Yudi Wahono, atau lebih dikenal sebagai Piyu dari grup musik Padi Reborn. Ia hanya menerima royalti sebesar Rp125.000 untuk pemutaran lagunya di salah satu acara musik. Jumlah ini sangat kontras jika dibandingkan dengan pendapatan yang dihasilkan dari tiket konser, yang dikabarkan mencapai angka triliunan rupiah. Situasi ini mengundang pertanyaan tidak hanya tentang sistem distribusi royalti tetapi juga tentang bagaimana perpajakan berlaku terhadap royalti di industri musik.

Royalti, menurut undang-undang hak cipta, adalah imbalan yang diterima pemilik hak atas karya mereka. Dalam konteks perpajakan, royalti termasuk dalam kategori penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh). Di Indonesia, besaran PPh atas royalti biasanya dihitung berdasarkan tarif progresif untuk individu atau tarif tetap untuk badan hukum, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pendapatan dari royalti yang diterima seorang pencipta lagu, seperti Piyu, wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) sebagai bagian dari penghasilan. Pajak atas royalti tidak hanya berlaku pada pencipta lagu tetapi juga pada lembaga manajemen kolektif (LMK) yang mengelola pengumpulan dan distribusi royalti. LMK wajib memotong pajak dari royalti sebelum disalurkan kepada pemilik hak cipta.

Namun, rendahnya jumlah royalti yang diterima Piyu menunjukkan adanya tantangan dalam sistem distribusi royalti di Indonesia. Salah satu penyebab utama adalah mekanisme pembagian royalti yang kompleks dan kurang transparan. Dalam kasus acara musik seperti konser, royalti sering kali dibagi di antara banyak pencipta lagu dan penampil, sehingga nominal yang diterima setiap individu menjadi kecil.

Dasar hukum dan tarif royalti

Berikut adalah besaran tarif pajak untuk royalti berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia:

1. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2)

  • Tarif: 15% dari jumlah bruto royalti.
  • Tarif ini berlaku untuk royalti yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri.
  • Misalnya, jika royalti sebesar Rp10.000.000 diterima, maka pajak yang dikenakan adalah Rp1.500.000 (15% dari Rp10.000.000).

2. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

  • Tarif: 15% dari jumlah bruto royalti.
  • Tarif ini berlaku untuk royalti yang diterima oleh wajib pajak luar negeri.
  • Pajak ini bersifat final, artinya tidak perlu lagi melaporkan penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan.
  • Misalnya, royalti sebesar Rp10.000.000 dari pihak luar negeri akan dikenai pajak sebesar Rp1.500.000.

3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26

  • Tarif: 20%.
  • Ini adalah tarif pajak final untuk royalti yang diterima oleh wajib pajak luar negeri.
  • Misalnya, royalti sebesar Rp10.000.000 yang diterima oleh wajib pajak luar negeri akan dikenai pajak sebesar Rp2.000.000.

4. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 230/PMK.03/2014

  • Untuk royalti yang disalurkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), PPh yang dikenakan adalah sebesar 10% dari bruto royalti.
  • Tarif ini dapat lebih rendah untuk penarikan royalti melalui sistem pengelolaan tertentu, seperti yang diatur dalam PMK No. 56 Tahun 2021.

5. Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2018

  • Memberikan opsi untuk mengurangi tarif PPh bagi wajib pajak dalam negeri yang menerima royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
  • Misalnya, royalti yang diterima dalam jumlah besar dapat dikenai pajak dengan tarif 10% dari bruto royalti, tergantung pada ketentuan khusus yang diatur oleh Menteri Keuangan.

Perbedaan Pajak Royalti Untuk Wajib Pajak (Wp) Pribadi Dan Badan

Perbedaan pajak royalti di Indonesia mencakup aspek tarif pajak, mekanisme pemotongan, dan pelaporan pajak yang harus dilakukan. Berikut adalah perbedaan-perbedaan utama tersebut yang lebih terperinci:

1. Tarif Pajak:

  • WP Pribadi (Individu):
      • Tarif PPh Pasal 4 ayat (2) adalah 15% dari bruto royalti yang diterima. Ini berlaku untuk semua jenis royalti yang diterima, baik dari dalam maupun luar negeri.
      • PPh Pasal 23 juga dikenakan dengan tarif 15% dari bruto royalti, yang bersifat final. Artinya, royalti yang telah dipotong pajak ini tidak perlu dilaporkan lagi dalam SPT Tahunan wajib pajak pribadi.
      • Untuk royalti yang diterima dari pihak luar negeri, PPh Pasal 26 dikenakan dengan tarif 20%.
  • Badan (Perusahaan):
    • Sama seperti WP pribadi, badan juga dikenakan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari bruto royalti. Ini berlaku baik untuk royalti dari dalam maupun luar negeri.
    • Namun, untuk royalti yang diterima dari luar negeri, tarif PPh Pasal 26 tetap sebesar 20%.
    • Badan harus menyampaikan SPT Tahunan dan mencatat royalti sebagai bagian dari penghasilan neto. Selain itu, pajak atas royalti harus dilaporkan terpisah dari penghasilan lainnya dan dibayar sesuai ketentuan PPh Badan dengan tarif umum 22% dari penghasilan neto.

2. Pengelolaan Pajak:

  • WP Pribadi:
      • PPh Pasal 23 yang sudah dipotong pada saat pembayaran royalti bersifat final dan tidak perlu dilaporkan lagi dalam SPT Tahunan.
      • SPT Tahunan hanya diperlukan jika ada penghasilan lain yang dikenakan pajak lebih lanjut.
  • Badan:
    • Wajib menyampaikan SPT Tahunan untuk mencatat royalti sebagai bagian dari penghasilan neto perusahaan. Ini termasuk pencatatan penghasilan royalti yang diterima dan pembayaran pajak yang harus dilakukan.
    • Pembayaran pajak dilakukan secara terpisah dari penghasilan lainnya, dan PPh Badan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan pajak perusahaan.

3. Pemotongan Pajak oleh Pemberi Royalti:

  • WP Pribadi:
      • Pemberi royalti, seperti perusahaan di dalam negeri, memotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari bruto royalti pada saat pembayaran.
      • Jika penerima royalti berasal dari luar negeri, pajak dipotong dengan tarif PPh Pasal 26 sebesar 20%.
  • Badan:
    • Mekanisme pemotongan pajak terhadap royalti untuk badan masih sama dengan WP pribadi, yaitu 15% untuk royalti dalam negeri dan 20% untuk royalti dari luar negeri.
    • Badan yang menerima royalti juga melaporkan penghasilan tersebut dalam SPT Tahunan dan mencatat pembayaran pajak royalti sebagai bagian dari kewajiban pajak mereka.

4. Tata Cara Penghitungan dan Pembayaran Pajak:

  • WP Pribadi:
      • Pajak royalti yang diterima diperlakukan sebagai pendapatan final dan tidak memerlukan pelaporan terpisah dalam SPT Tahunan.
      • Jika penghasilan selain royalti melebihi batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), wajib pajak harus melaporkan dan membayar PPh lebih lanjut.
  • Badan:
    • Pajak royalti yang diterima harus dilaporkan dalam laporan keuangan perusahaan dan dalam SPT Tahunan sebagai bagian dari penghasilan neto.
    • Pembayaran pajak dilakukan terpisah dari pajak penghasilan perusahaan lainnya, dan harus mencakup penghasilan dari royalti serta ketentuan yang berlaku untuk PPh Badan.

Keringanan Pajak untuk Seniman dan Penulis di Indonesia

Pemerintah memberikan berbagai keringanan pajak untuk mendukung seniman dan penulis, terutama di sektor kreatif. Berikut adalah fasilitas pajak yang bisa dimanfaatkan:

  • PPh Final 0.5%
    Pendapatan dari royalti, honorarium, atau hasil karya seni dan tulis bisa dikenakan pajak final hanya sebesar 0.5% dari bruto. Skema ini memudahkan penghitungan pajak.
  • Tarif PPh Pasal 23 untuk Royalti
    Royalti yang diterima melalui lembaga manajemen kolektif, seperti LMKN, dikenakan tarif lebih rendah, yaitu 10% dari bruto royalti.
  • Pengurangan Pajak untuk Hak Cipta
    Penghasilan dari royalti hasil hak cipta, seperti buku atau musik, hanya dikenai pajak sebesar 10%.
  • Pembebasan Pajak untuk Karya Kreatif
    Hasil dari paten atau karya lain yang berdampak sosial, edukatif, atau budaya bisa mendapatkan pembebasan pajak, terutama jika digunakan untuk kepentingan pendidikan atau sosial.
  • Potongan Pajak untuk Kegiatan Sosial
    Seniman dan penulis yang terlibat dalam kegiatan sosial atau kebudayaan dapat mengklaim potongan pajak tambahan.

Also, Read – OBJEK PAJAK BEA MATERAI

Sistem royalti dan perpajakan di industri seni dan penulisan Indonesia masih menjadi tantangan bagi para kreator. Pembagian royalti yang sering kali tidak transparan membuat banyak seniman dan penulis merasa karya mereka kurang dihargai secara finansial. Di sisi lain, peraturan perpajakan yang menetapkan tarif langsung pada penghasilan bruto, tanpa mempertimbangkan biaya produksi, semakin membebani mereka, terutama bagi yang berada di awal karier atau menghasilkan royalti dalam jumlah kecil.

Untuk mendukung perkembangan seni dan budaya, diperlukan perbaikan mendasar dalam sistem ini. Transparansi dalam distribusi royalti serta pemberian insentif pajak, seperti tarif lebih rendah untuk royalti kecil atau pembebasan pajak bagi karya dengan dampak sosial, dapat menjadi solusi. Dengan langkah ini, para kreator akan lebih termotivasi untuk menghasilkan karya yang mengangkat budaya Indonesia dan mampu bersaing di kancah global

 

author avatar
Sapitri
I have experience working in the health sector as a medical equipment regulator, in the tax sector as a tax consultant, and in the administration sector as head of company administration.

Table of Contents

Tinggalkan Balasan